![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMHRm50QwpfJtRatuYo7OW-ENVQpn2KiJpShvSXH09rUSqxulfpWj-4RJ0II_mDqiqQTGrNFQb-W2EBAMfw9zgtuUg1yoGk7dDP4hxn5UD3feqoh8H2Gl8XoDCSRf-nEXZ3HrMXLExBCwP/s640/stock-illustration-22365961-people-with-their-umbrellas.jpg)
Kali ini aku menyerah pada kesedihan yang bertamu di ambang hati. Kaca jendela yang mengembun seolah menerjemahkan senyum kemenanganmu atas kecemasanku menimba kenangan dulu. Memayungi jejakmu agar tak mudah dihapuskan sang hujan, menyimpan warnamu agar tak mudah dikalahkan pelangi. Belajar menjadi pencuri waktu untuk sekedar menanyakan kabarmu, meski tak berbentuk sapa dan cerita.
Di balik jendela, langit masih menangis dalam bentuk jutaan rintik yang berjatuhan. Sengaja mengetuk pintu rumahku, berharap aku membukanya, dan seolah
meminta ijin untuk sekedar menangis bersamaku.
Beberapa patah dia berkata dan bertanya "Purnama mengkhianatiku malam ini, untuk kesekian kalinya dia tidak datang lagi menghiburku...
Benarkah esok akan ada pelangi??
Bolehkah aku berdiam disini??
Menemanimu dan turut serta menikmati aroma sajak mu??"
Terbaca dalam urat wajahnya, tak terselip sedikitpun gairah untuk tersenyum, menciptakan alunan nada tanpa irama yang hanya terhembus di sela - sela nafasnya. Wajahnya memucat biru, membisu. Dalam nanar pandangan, aku melihat rindumu yang sudah mulai membeku. Lalu untuk apa memutar kenangan yang telah di lalui bersama pada malam - malam sebelumnya.
"Untuk apa lagi kau berdiam disini jika hanya ingin menyatukan sedih, mencoba merayu untuk menyamarkan luka bahwa masih bisa ditunda.?? Pergilah... Kamu harus melukiskan bentuk pelangi untuk esok hari..."
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_P9nIr-tyFsHtwr5IqGjLHO5k5yPA76tYZusYz8kXdCWjdDq3Luy5ICGt6FaqkxkfpqTly4Hm2N7G7biwMFUintRAjm7Dj4reSD6HlXnxVsVwbtObd-2oXzjrV8Bdiiy062TJOPzqHKab/s320/Bagikan.%2521%2521.jpg)
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda.