Hal yang membuatku sedih saat ini adalah kenyataan bahwa aku bukan lagi orang yang membuatmu bahagia.
Aku bukan lagi penyebab tawamu.

Aku bingung; ketika tau kamu tidak lagi membutuhkanku di hari-harimu. Apakah iya, kita dipertemukan hanya untuk saling menyakiti?
Pada suatu pagi yang pucat, kau pernah
menyapaku. Apa saja yang ada di dinding ini adalah saksinya. Termasuk dia. Lalu kau bilang kau pernah mencintai, tapi pada tawa yang diseduhnya, bukan aku. Kebahagiaanmu mengoyak udara. Lalu aku menenggelamkan diri pada lautan itu. Kurahasiakan kau dalam sajakku.
Dindingku diam-diam mencatat kepergianmu, tanda kubiarkan kau pergi sesuka hati sampai kau bosan—lalu menghampiri. Namun kau tak kembali. Padahal sudah kutuliskan penantian, tapi sajakku itu tidak berubah; masih tanpa pembaca. Sampai nanti, tetap kurahasiakan kau dalam sajakku.
“Sayang kamu.” katamu kemarin-kemarin.
Aku hanya menjawab “iya”, meski kutau itu bukan jawaban yang kamu harapkan. Tapi kurasa kau tak mempermasalahkannya (atau kau hanya tak menunjukkannya). Ini terlalu… cepat bukan?
Esoknya lagi kamu mengatakannya, “sayang kamu”. Dua kata yang sama, kepada orang yang sama. Sama seperti sebelumnya, aku hanya bisa menjawab “iya aku tau”. Sudah itu saja. Maaf, kurasa kata itu masih asing di pendengaranku. Lagi-lagi, kau tersenyum.
Aku membingungkanmu, ya?
Aku tidak pernah memberitahumu, hingga akhirnya kamu berlalu tanpa membawa aku. Suatu saat nanti, kamu pasti akan terbangun dan menyadari bahwa perasaanmu padaku adalah hal yang tidak-tidak.
Maaf ya, aku menghabiskan waktumu hanya untuk mengatakan “sayang kamu” padaku. Sementara di kesempatan yang sama, aku cuma bisa mengucapkan “sayang kamu” dalam volume 0%, dalam hati. Ada hal yang lebih baik tidak diketahui, kan?
Iya, aku akan belajar memaklumi kepergianmu, semoga kamu juga akan memaklumi ketidaksanggupanku itu.
I can stay, but I can’t say it back.
And.
I can say, but I can’t stay anymore.
Setelah suatu hal terjadi, entah seberapa kecilnya itu, tetap saja tidak akan ada yang bisa kembali seperti semula. Bahkan angin yang berhembus dan daun yang berjatuhanpun tidak akan sama seperti sebelumnya.
Lalu, bagaimana sebuah hati yang telah terluka bisa kembali seperti semula?
Menerima adalah langkah pertama dalam menyederhanakan kepergian seseorang juga kenangan-kenangannya.
Langkah kedua adalah mengakui bahwa ada yang lebih baik tidak lagi berada di tempatnya seperti dulu. Kehilangan itu bukan hal baru.
Terakhir, aku memaafkan diri sendiri, memaafkanmu. Berdamai dengan semuanya. Membebaskan diri dan merasakan perasaan hati pelan-pelan lega.
Bukannya ingin menjauh, tapi tahu diri. Karena ketika dua orang bersama, yang harusnya terhapus adalah kesedihan, bukan kebahagiaan. Untuk apa bertahan dengan seseorang yang kamu hanya merasa sakit.? dan aku tak mau lagi; kau rasa sakit yang kucintai terus-menerus. Karena kadang-kadang pergi terasa lebih menyenangkan ketika bertahan tidak memungkinkan lagi.
kepadamu,, Berjanjilah juga untuk tetap baik-baik saja. Terima kasih sudah mengijinkanku pernah ada kita, walau aku tau perpisahan adalah yang terbaik menghapus luka dan kesedihan.
Dan suatu saat nanti, jika kita bertemu lagi; aku berharap kita akan saling tersenyum gembira,
…bersama orang lain di samping kita.

Jangan Lupa Juga Berkunjung Disini>>>
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda.